Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bicara Cinta : Agama adalah Hakim

Di tengah usia 20+ dimana kita disajikan oleh berita akad nikah teman yang mirip jadwal shalat jumatan seminggu sekali. Dimana ketika ada seseorang yang datang yang bahkan kita tidak tahu siapa dan bagaimana. Dimana ketika kita dibuat bertanya-tanya tentang seseorang yang hadir di pikiran. Maka jadikanlah agama sebagai hakim.

Kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan beragama seseorang yang sebenar-benarnya saat ini. Hanya mendengar berita atau memperhatikan caranya berpakaian. Selebihnya kita tidak akan tahu jika kita tidak benar-benar mengenal kesehariannya. Karena agama bukanlah sekedar ibadah ritual; banyaknya hafalan, hitamnya jidat, panjangnya jenggot, lebarnya kerudung. Tidak seeksplisit itu. Agama itu ada di dalam hati, melebur hingga menjadi satu kesatuan dalam diri manusia. Menjadi cara berpikir, cara berbicara, cara berperilaku, semuanya termanifestasi menjadi perilaku keseharian.

Bicara Cinta : Agama adalah Hakim
Kita tidak akan benar-benar tahu kehidupan beragama seseorang dan berapa derajat keimanannya di mata Allah. Lalu bagaimana kita bisa menerima seseorang yang datang tiba-tiba dalam hidup kita? Apalagi bila dia adalah orang yang sama sekali belum kita kenal baik kehidupannya?

Sementara Nabi mengatakan bahwa seseorang (menurutku ini berlaku tidak hanya untuk perempuan) dinikahi karena 4 hal; harta, keturunan, paras, dan agama. Dan dianjurkan memilih agamanya.

Lalu saya bertanya, “Kalau kita bisa mendapatkan keempatnya, mengapa hanya salah satu atau mendapatkan 3 dari 4 kriteria itu? Tidak salah dan tidak berdosa juga kan kita berharap dapat seseorang yang baik agamanya sekaligus cantik/tampan, berketurunan baik, dan kaya?”

Teman saya tersenyum. Di sinilah jawaban itu muncul.

“Seseorang yang memiliki pemahaman agama yang baik, seluruh pemahaman itu akan melebur menjadi dirinya. Ingat bahwa Nabi Muhammad akhlaknya adalah Al Quran kan? Kita dan seseorang yang datang itu bukan Nabi, tapi kita bisa mencontohnya. Seseorang saat ini tidak lagi bisa dinilai dari luarannya saja. Lihatlah bagaimana cara dia berbicara, berperilaku, uji pemikiriannya dengan pertanyaan kritis dan masalah, uji kesabarannya dengan amarah. Kita boleh banget berdoa untuk memiliki pendamping yang memiliki paras yang baik, kaya, juga berketurunan, tidak ada yang salah. Yang perlu kita pegang adalah jadikan agama sebagai hakimnya.”

Saya masih menyimak pembicaraan ini.

“Maksudnya agama sebagai hakim?”

“Kita tidak akan bisa menilai agama seseorang saja dan mengesampingkan yang lain. Hanya karena dia terlihat beragama; rajin shalat, jidat hitam, kerudung panjang, hafalan seabrek. Tapi bicaranya kasar, pemikirannya tertutup, bahkan perilakunya bertentangan dengan tampilan luarnya. Buat apa?”

“Carilah seseorang dengan karakter yang baik, baru kamu lihat agamanya. Kamu hanya perlu ridha dengan agamanya sebagaimana apa yang dikatakan Nabi Muhammad. Artinya kamu cukup ridha bila dia hanya baru shalat wajib dan dhuha, belum banyak hafalannya, belum rajin puasa sunah, kerudungnya belum panjang atau bahkan mungkin belum mengenakan, dll. Karakter baik itu penting dan abadi berada dalam diri manusia. Karena karakter itu tidak dibentuk oleh pelajaran-pelajaran teori.”

“Karena pemahaman agama itu benar-benar menjadi agama ketika terwujudkan menjadi seluruh cara hidup seseorang. Selebihnya dapat dipelajari perlahan. Al Quran saja diturunkan dalam jangka bertahun-tahun, pelan-pelan tidak langsung sekaligus. Seseorang tidak akan menjadi sangat alim, sangat soleh atau solehah dalam hitungan pendek. Semua adalah proses dan itu proses bersama kalian nantinya. Untuk menjaga proses itu berjalan dengan baik, kamu membutuhkan seseorang dengan karakter yang baik”

Saya mencatatnya.

“Jadikanlah agama sebagai hakim, bila dia cukup baik dan cukup memenuhi kriteria mubah/sunah yang kamu buat (misal bisa masak, cantik/tampan, penyayang anak-anak, dll) baru kamu lihat agamanya. Kalau kamu ridha, kamu sudah tahu jawabannya. Bila agamanya tidak baik, percuma kan karakter baik tapi kehidupan beragamanya kamu gak ridha, putuskanlah. Karena hidupnya tidak akan berakhir di dunia saja, masih ada kehidupan setelahnya dan kamu membutuhkan itu.”

Teman saya selesai menjawab. Ku kira dia lebih “ustadz” daripada ustadz di televisi yang hanya haha hihi tanpa esensi. Saya mencatatnya, membaca ulang kesimpulannya.

“Agama adalah hakim untuk menerima atau menolak seseorang dan hakim selalu memutuskan setelah melihat semua komponen yang lain terlebih dahulu”

Bandung, 28 Oktober 2014 | ©kurniawangunadi (kurniawangunadi.tumblr.com)

***

Well, semua tulisan diatas bukan tulisan saya, tapi saya sangat setuju dengan pemikiran teman masgun itu.

Percuma jidat hitam, kerudung panjang, rajin sholat tetapi kasar kepada orang tua, suka membentak dan berbuat curang.

Pemahaman agama tidak se-eksplisit itu, tidak hanya sebatas yang terlihat oleh mata. Pemahaman agama itu menyeluruh dan termanifestasi menjadi perilaku keseharian, menjadi karakter.

Ah.. semoga nanti jika tiba saatnya saya harus memutuskan, saya akan ingat-ingat postingan ini. Karena sampai hari ini saya masih percaya bahwa “Setiap perempuan berpotensi untuk menjadi seorang istri yang baik -bahkan teramat sangat baik-, sepanjang ia tidak salah dalam memilih lelakinya”.

Tengok saja mbak Shireen Sungkar. Pemeran cinta fitri yang awalnya tidak berhijab ini memutuskan untuk berhijab dan berhijrah total setelah menikah dengan mas Teuku Wisnu yang sudah lebih dulu berhijrah.

Adalah keterlaluan menurut saya jika kita menginginkan pendamping yang baik sedangkan kita tidak berusaha untuk menjadi baik.

Dan saya takut jika tidak menjadi baik, maka modal apa yang akan saya gunakan untuk menjadi imammu kelak? membersamaimu dalam proses kehidupan yang panjang #eaaaa

Post a Comment for "Bicara Cinta : Agama adalah Hakim"