Siapkah Kita Menghadapi Quater Life Crisis, Krisis di Usia 20-25 ?
Ternyata tidak hanya usia yang bertambah, tidak hanya
badan yang bertumbuh. Tapi pemikiran manusia juga ikut tumbuh, masalah hidupnya
pun juga ikut semakin kompleks. Fase hidup juga bertumbuh dan hari ini saya
merasakan bahwa tulisan saya
juga bertumbuh.
Beberapa hari ini saya memutar kembali memori ke tulisan blog di tahun 2012, terutama tulisan dalam tag ‘Opini’. Apa yang saya
bahas hari ini berbeda dengan yang dulu dibahas. Dan kadang saya melakukannya
tanpa saya sadari hingga menemukan benang merahnya.
Akhir-akhir ini tulisan dan Instagram saya temanya sama, merah jambu semua. Tentang cinta dan
pernikahan! Bukan berarti saya galau, tapi ada hal-hal yang memang tidak bisa
kita hindari di usia fase tersebut. Kalau bahasa ilmiahnya Quater Life Crisis.
Krisis di usia 20-25 adalah tentang karir dan keluarga. Dua hal ini hampir
bersisian waktunya, antara bekerja dan membangun keluarga.
FYI, tulisan
ini bukan murni pemikiran saya, saya banyak dapat inspirasi dari tulisan Mas Kurniawan Gunadi dalam seri
tulisan beliau yang berjudul ‘Bertumbuh’.
Teman-teman
bisa follow instagramnya di @kurniawangunadi ataupun kepoin
tumblrnya di kurniawangunadi.tumblr.com
Lebaran kemarin, topik
pembicaraan masih seputar soal mau menjadi apa nanti, mau kerja dimana. Lalu tanpa terasa kini topik sudah mulai berganti menjadi “kapan
nikah?”. Semacam itu. Krisis di usia ini harus disikapi dengan bijaksana. Tidak
perlu kita mengatakan orang lain galau tentang ini. Saya pun mengalami hal
serupa.
Mantra “Semua Akan Berlalu” selalu saya gunakan setiap menghadapi hal-hal seperti
ini, bahwa fase ini pasti akan kita lewati dan kita mungkin esok akan terkejut
bahwa tiba-tiba usia kita sudah menginjak 30 tahun dan kita sudah melewati fase
meresahkan ini. Baik tentang pekerjaan atau keluarga. Dan kita menoleh
kebelakang, entah dengan tersenyum atau sebaliknya.
Hari ini adalah hari yang menakjubkan. Dimana tanpa
terasa kita telah melalui lebih dari 20 tahun kehidupan kita dan kita harus
melewati fase dimana setiap keputusan yang kita ambil nantinya adalah keputusan-keputusan permanen. Sekali
kita mengambil keputusan itu, maka itu berlaku
seumur hidup, dunia akhirat.
Ada beberapa hal yang juga ingin saya bagikan kepada
teman-teman terkait hal-hal apa saja yang menjadi tantangan dan mantra apa saja
yang bisa kita gunakan untuk melewati fase ini.
1. “Semua Akan Berlalu”
Segala sesuatu pasti akan kita lewati. Kita tentu tidak
menyangka bahwa kita sudah lewat fase SMA dimana dulu kita mungkin bertanya-tanya,
menjadi apa kita di masa depan, kuliah dimana, dan lain-lain. Bahkan dulu kita
takut tidak lulus UN. Hari ini kita sudah sampai pada jawaban dari kekhawatiran
kita dulu bahwa apa yang kita khawatirkan ternyata tidak terjadi.
Sama halnya dengan hari esok, siapa jodoh kita, apa
pekerjaan kita, kita tinggal dimana, berapa anak kita, kapan kita menikah, dan
lain-lain. Jawaban itu ada di masa depan, tidak di hari ini. Dan tugas kita
akan mempersiapkan itu semua dengan menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya.
Tugas kita adalah mempersiapkan, karena bila jawaban itu
datang. Kita sudah siap pada jawaban itu. Allah tentunya akan memberikan
sesuatu bila memang hamba-Nya sudah sampai pada kapasitas itu. Kalau kita belum
bertemu dengan jawaban pertanyaan-pertanyaan resah itu hari ini, berarti kita
sedang diberi waktu untuk mempersiapkan diri dan meningkatkan kapasitas diri
kita. Isilah hari ini dengan segala kebaikan dan tunjukkan kepada Allah bahwa
kita sudah siap dan kita siap.
2. Lepaskan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Ujian di Quarter Life Crisis berikutnya adalah tentang
melepaskan. Untuk tumbuh, seseorang harus bersedia berkorban untuk mendapatkan
apa yang lebih baik. Kita tidak perlu mengikatkan diri pada seseorang yang
tidak jelas kepastiannya, tidak jelas perasaannya kepada kita, juga tidak jelas
bagaimana rencana hidupnya dengan kita.
Kita mungkin ada yang khawatir, bagaimana kalau kita
tidak pacaran tapi bisa mendapatkan jodoh. Kita terjebak pada “hubungan tanpa
status” atau “ikatan tanpa komitmen” dari orang lain. Perasaan kita terlanjur
luluh, terlanjur merasa terikat.
Tapi sejatinya, ikatan itu tidak ada sama sekali.
Menjelang usia pernikahan, kita akan diuji dengan kehadiran orang lain. Dan
ujian ini tidak sama lagi dengan masa-masa puber dulu. Bahwa ujian ini sudah
tidak lagi berbicara tentang perasaan, tapi keimanan dan ketakwaan.
Bagaimana kita lebih mengutamakan ketakwaan diatas
perasaan kita. Bagaimana kita bisa memenuhi aturan-Nya tanpa harus melanggar
larangan-Nya.
Allah akan menguji kita dengan kehadiran seseorang. Bisa
jadi ia adalah jodoh, bisa jadi juga ujian. Tugas kita adalah menjaga diri,
menjaga kehormatan, sampai orang yang memang dipersiapkan untuk kita itu
datang.
3. Menghargai kesempatan.
Di usia ini juga, rasanya begitu banyak sekali kesempatan
datang. Kesempatan pekerjaan, kesempatan karir, kesempatan menikah, kesempatan
dengan orang yang baik, dan lain-lain. Sebenarnya, kita sedang diuji pada
keteguhan hati. Tidak semua kesempatan yang datang itu harus kita ambil, kadang
kesempatan datang hanya untuk menguji keteguhan hati kita.
Untuk yang sudah memutuskan berkomitmen dengan seseorang,
ujiannya adalah diperlihatkan dengan orang-orang yang sepertinya lebih baik.
Untuk yang sudah bekerja, godaannya adalah kesempatan untuk berpindah-pindah.
Dan masih banyak lagi ujian yang akan kita hadapi. Keteguhan hati atas pilihan
yang sudah kita ambil akan menjadi ujian yang cukup berat di usia ini.
4. Hati-hati dalam mengambil keputusan.
Diawal tulisan
tadi sudah saya bahas bahwa banyak sekali keputusan di usia ini yang sifatnya
permanen. Bahwa sekali kita memutuskan suatu hal, itu akan menggema ke anak
cucu kita. Terutama keputusan dengan siapa kita akan menikah.
Maka, mantra pada poin nomor 2 akan sangat berguna. Kita
harus hati-hati mengambil keputusan ini. Bahwa orang yang menikah dengan kita
nanti akan menjadi orang pertama yang berpengaruh pada dunia dan akhirat kita.
Anak-anak kita nanti berhak mendapatkan yang terbaik dan adalah kewajiban kita
hari ini, mencarikan yang terbaik. Sosok (calon) ayah dan ibu yang terbaik.
Kalau hari ini perasaan kita sedang diuji dengan orang
lain. Kita lebih mengutamakan perasaan kita tanpa memikirkan bagaimana nanti
bila dia menjadi pasangan hidup kita, apa kabar nanti anak-anak kita bila
memiliki sosok ayah/ibu seperti dia, apa kabar nanti keluarga kita. Apakah
lebih dekat ke surga atau ke neraka. Adalah ikhtiar kita hari yang perlu kita
optimalkan.
Keputusan menikah dengan siapa tidak lagi semata
keputusan pribadi, tapi kita melibatkan (calon) anak-anak kita nanti,
melibatkan akhirat kita nanti, melibatkan banyak hal yang mungkin kita lupa
mempertimbangkannya hanya karena perasaan kita yang sudah memenuhi hati dan
pikiran kita. Hingga tidak ada ruang untuk berpikir jernih.
Padahal untuk membuat keputusan di usia ini, komposisi
logika dan perasaan harus seimbang. Pastikan pada saat kita mengambil
keputusan, kita sedang dalam kondisi yang tenang, pikiran yang lurus, hati yang
bersih. Agar kita paham betul bahwa keputusan tersebut tidak diambil dengan
dorongan hawa nafsu. Kita akan mempertanggungjawabkan keputusan itu nanti
Empat hal ini dulu yang ingin saya sampaikan kepada
teman-teman, semoga tulisan ini mungkin menjawab keresahan hati kita. Sekaligus
menunjukkan bahwa kita tidak sendirian. Banyak orang yang sedang berjuang
melewati fase ini. Mari menangkan! :)
Dan pesan terakhir :
“Semoga Allah masih menjadi yang pertama :)”
good
ReplyDelete